Minggu, 01 November 2009
Sabtu, 31 Oktober 2009
Bukan Kasus Biasa
TJIPTA LESMANA
Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat suara terkait perseteruan sengit antara Polri dan KPK, lebih khusus lagi karena ditahannya dua unsur pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.
Presiden menyempatkan untuk menggelar jumpa pers (Jumat, 30/10/2009) karena namanya tiga kali disebut dalam rekaman percakapan terkait kasus korupsi Anggoro Widjojo. Namun, ada satu aspek pernyataan Yudhoyono yang niscaya mengecewakan masyarakat luas.
Saat Presiden menegaskan ”kasus Bibit dan Chandra sama dengan kasus yang menimpa pejabat lain”, publik dibuat bingung dan bertanya-tanya, ”Masih setiakah Presiden dengan tekad untuk menjadi ’panglima gerakan antikorupsi” sebagaimana dicanangkan berulang kali dalam kampanye Pemilu Presiden 2004?”
”Perihal penahanan seorang tersangka, kita tahu, seorang tersangka, dalam proses penyidikan, bisa ditahan apakah penahanan oleh polisi, atau jaksa, atau yang memiliki kapasitas sebagai penyidik. Yang penting, rakyat harus (tahu) alasan penahanan yang jelas dan rujukan hukum mana yang dijadikan alasan,” tegas Yudhoyono.
Betapa tinggi kadar normatif pernyataan Presiden. Substansi paparan Presiden Yudhoyono selama kurang lebih setengah jam itu sebagian besar bersifat normatif. Presiden mengatakan, dalam proses penyidikan, penyidik—apakah Polri, kejaksaan, atau KPK—punya kewenangan untuk menahan tersangka. Presiden meminta Kepala Polri agar menyelidiki (membuka) secara tuntas rekaman percakapan yang beredar di masyarakat. Cari siapa pelaku percakapan itu. Kembali ditegaskan, Presiden tidak bisa melakukan intervensi dalam proses hukum yang sedang dilakukan instansi penegak hukum. ”Saya tidak akan, dan saya tidak boleh....”
Dengan ucapan-ucapan normatif itu, Presiden Yudhoyono seakan hendak mengatakan kepada rakyat Indonesia, dirinya seorang pemimpin yang selalu menghormati dan menaati hukum; selalu bertindak di atas rel hukum.
Bukan kasus biasa
Sayang, Presiden telah melakukan kekeliruan pembandingan dalam ilmu logika. Penahanan Bibit dan Chandra tidak bisa disebut kasus biasa, jika mencermati kronologi kejadian sebelumnya. Jika tergolong kasus biasa, mana mungkin opini publik berdiri di belakang mantan kedua unsur pimpinan KPK itu? Mana mungkin tokoh masyarakat seperti Syafii Maarif, Franz Magnis-Suseno, Goenawan Mohamad, dan lainnya serentak berikrar siap pasang badan demi membela Bibit dan Chandra? Jika kasus biasa, omong kosong media bisa disogok untuk membesarkan kasus itu sekaligus membela mereka?
Tentu ada yang tidak beres. Bahkan, ada sesuatu yang bisa membawa aib besar bagi potret negara hukum Indonesia di balik penahanan Bibit dan Chandra.
Maka, perlu dihindari sikap normatif. Inilah momentum emas bagi presiden untuk tampil ke depan memperbaiki citra diri yang beberapa waktu lalu agak turun akibat penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Bagaimana caranya?
Jika benar Presiden Yudhoyono mempersepsikan diri ”pemimpin junjungan hukum”, kiranya perlu segera mengambil tiga tindakan penting.
Pertama, memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung untuk secepatnya dan penuh keseriusan menyelidiki rekaman percakapan yang terkait petinggi kedua instansi penegak hukum itu. Ini pekerjaan amat mudah. Maka, segera akan ditemukan siapa sebenarnya petinggi yang dimaksud dalam percakapan itu. Lalu, sidik apa makna pesan yang terkandung di balik ”ucapan-ucapan menghebohkan” itu.
Kedua, karena pemberian status tersangka—yang dilanjutkan penahanan—Bibit dan Chandra terkait penyelidikan KPK terhadap dugaan keterlibatan sejumlah petinggi Polri dan Kejaksaan Agung dalam kasus Anggoro maupun skandal Bank Century, maka presiden tidak salah jika memerintahkan Kapolri untuk menunda penyidikan kasus Bibit dan Chandra, apalagi menahan mereka.
Dalam hal ini, masalah ayam dan telur harus dipecahkan dulu. Bibit dan Chandra dibidik Polri karena mereka menyadap telepon petinggi Polri, bahkan mempermalukan institusi Polri di mata rakyat Indonesia. Namun, KPK berkelit, mereka punya dasar kuat untuk melakukan penyelidikan. Mana lebih dulu? Jawabannya, bongkar misteri rekaman percakapan yang kini menjadi rahasia publik. Dari situ akan diperoleh indikasi apakah KPK atau Polri yang melenceng.
Ketiga, jika misteri dalam butir kedua sudah terkuak, Presiden perlu mengambil tindakan tegas terhadap pimpinan Polri dan Kejaksaan Agung. Presiden perlu diingatkan sejarah lahirnya KPK. KPK lahir karena (a) desakan reformasi untuk memberantas korupsi, mengingat korupsi menjadi salah satu penyebab pokok gagalnya bangsa Indonesia menjadi bangsa bermartabat di antara bangsa-bangsa dunia; (b) buruknya citra dan kinerja Polri dan kejaksaan selama puluhan tahun dalam penegakan hukum.
Belum terlambat
Presiden belum terlambat untuk memperbaiki citra kepemimpinan, sehubungan dengan penahanan Bibit dan Chandra.
Untuk itu, presiden perlu mencermati opini publik, sebab sebenarnya opini publik adalah salah satu pilar sistem demokrasi. Semua presiden Amerika Serikat, setiap subuh berkewajiban untuk mencermati opini publik terkini terkait kasus besar yang dihadapi bangsa dan negaranya. Bukankah hal itu juga bisa dilakukan Presiden Yudhoyono?
Kebijakan dan tindakan presiden selamanya tidak akan efektif manakala bertabrakan dengan opini publik, apalagi opini publik yang benar-benar solid.
TJIPTA LESMANA Ahli Komunikasi Politik
Kamis, 29 Oktober 2009
Senin, 05 Oktober 2009
Minggu, 27 September 2009
Minggu, 13 September 2009
detikNews : situs warta era digital | Surat Komjen Pol Susno Duadji Kepada Pemred Media Massa
Sabtu, 12 September 2009
detikNews : situs warta era digital | Surat Komjen Pol Susno Duadji Kepada Pemred Media Massa
Didit Tri Kertapati - detikNews
Jakarta - Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji berang dengan pemberitaan negatif dirinya terkait kasus Bank Century. Dia pun sangat kecewa terhadap Majalah Tempo edisi terbaru yang memuat berita kasus itu dengan mengaitkan dirinya.
Kekecewaan Susno ini diungkap dalam surat yang dikirimkan kepada para pemred media massa, Sabtu (12/9/2009) lewat email. Susno yang menggunakan account susno_duadji@yahoo.com menulis surat yang sangat panjang. Selain menyampaikan kekecewaannya, Susno juga mengklarifikasi tentang kasus Bank Century."
detikNews : situs warta era digital | Pemred Tempo: Kalau Pak Susno Keberatan, Silakan Gunakan Hak Jawab
Arifin Asydhad - detikNews
Jakarta - Pemred Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo Toriq Hadad tidak mempermasalahkan sikap Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji yang menulis surat kepada pemred-pemred media massa. Bila memang kecewa dengan pemberitaan Tempo, Susno diminta menggunakan hak jawab."
detikNews : situs warta era digital | Sebut Godzila, Hendarman Sangat Tak Sensitif
Shohib Masykur - detikNews
Godzila (Reuters)
Jakarta - Di tengah kontroversi mengenai 'cicak vs buaya' yang belum mereda, Jaksa Agung Hendarman Supandji justru menambah kontroversi dengan menyebut Godzila. Hendarman dinilai tidak sensitif karena telah mengeluarkan pernyataan tersebut."
Jumat, 28 Agustus 2009
KOMPAS cetak - Pengadilan Dibentuk di 33 Ibu Kota Provinsi
Jumat, 28 Agustus 2009 | 04:19 WIB
Jakarta, Kompas - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah menyepakati pembentukan Pengadilan Tipikor di 33 ibu kota provinsi begitu undang-undang disahkan."
Selasa, 25 Agustus 2009
rakyatmerdeka.co.id - 821 Terdakwa Korupsi Kenapa Diputus Bebas
Rabu, 26 Agustus 2009, 00:04:00 WIB
Jakarta, RMOL. 221 Hakim Dilaporkan Ke Komisi Yudisial
Komisi Yudisial (KY) berjanji akan mempelajari laporan masyarakat terkait hakim yang melanggar kode etik dengan mengeluarkan putusan bebas terhadap terdakwa yang terlibat kasus dugaan korupsi. Kalau terbukti bersalah, KY akan merekomendasikan agar hakim itu dipecat oleh Mahkamah Agung (MA)."
Jumat, 21 Agustus 2009
KOMPAS cetak - Mantan Menteri Kesehatan Ditahan
Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:24 WIB
Jakarta, Kompas - Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat (21/8), menahan mantan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi. Langkah ini adalah tindak lanjut setelah pada 20 Mei 2009, Sujudi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan alat kesehatan di Departemen Kesehatan tahun 2003. Dalam proyek senilai Rp 190 miliar itu, negara diduga dirugikan sekitar Rp 91,5 miliar."
Rabu, 19 Agustus 2009
KOMPAS.com - Mantan Pemilik Bank Century Dituntut 8 Tahun
Senin, 17 Agustus 2009
detikNews : situs warta era digital | Perlu Dibuat Pengadilan Tipikor di Seluruh Indonesia
Hery Winarno - detikNews
Jakarta - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) perlu dibangun di seluruh Indonesia. Sebabnya kasus korupsi terjadi di seluruh negeri ini. Terlebih masyarakat lebih percaya pada hakim adhoc Tipikor dibandingkan hakim di Pengadilan Negeri."
Minggu, 16 Agustus 2009
Kamis, 13 Agustus 2009
detikNews : situs warta era digital | KPK Minta Polisi Usut Pelaku Pemalsu Surat Pencekalan Anggoro
detikNews : situs warta era digital | Trimedya: Polisi Harus Lindungi Anggoro
Trimedya: Polisi Harus Lindungi Anggoro"
detikNews : situs warta era digital | Adik Anggoro Temui Jaksa di Kejagung, Hendarman Jangan Diam Saja
detikNews : situs warta era digital | Yang Pilih Antasari Jadi Pimpinan KPK Harus Tanggung Jawab
Senin, 10 Agustus 2009
PEMBERANTASAN KORUPSI Hakim Karier "Juara" Bebaskan Terdakwa!
Senin, 10 Agustus 2009 | 03:09 WIB
Eksistensi Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Jakarta kini tinggal menunggu hari. Desember 2009, pengadilan itu segera berakhir, apalagi jika Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tak kunjung diselesaikan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta, pekan lalu, menyatakan, jika hingga Desember 2009 Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tak juga terbentuk, semua kasus korupsi akan diperiksa di pengadilan negeri (pengadilan umum).
Pertanyaannya, jika nanti kasus korupsi diadili di pengadilan umum, apakah akan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi atau sebaliknya? Dari pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama lima tahun terakhir, komitmen pengadilan umum justru dipertanyakan.
Pasalnya, banyak terdakwa kasus korupsi yang diadili pengadilan umum, yang semuanya terdiri atas hakim karier, justru dibebaskan. Ini berbeda dari Pengadilan Tipikor, yang memadukan hakim karier dan hakim
Tidak heran jika ICW menjuluki hakim karier sebagai ”juara” membebaskan terdakwa korupsi. Juara karena, dari pantauan ICW di sejumlah pengadilan umum, selama lima tahun terakhir (sejak tahun 2005) jumlah terdakwa kasus korupsi yang bebas di pengadilan umum bukan berkurang, tetapi malah meningkat. Ada kecenderungan pula terdakwa divonis ringan.
Bahkan, dalam semester I tahun 2009, dari 199 perkara dan 222 terdakwa korupsi yang diperiksa dan diputus di pengadilan umum, mulai dari pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung (MA) yang terpantau ICW, 153 terdakwa divonis bebas. Hanya 69 terdakwa yang bersalah.
”Namun, dari yang akhirnya diputus bersalah itu, bisa dikatakan belum memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Masih banyak terdakwa yang divonis di bawah satu tahun penjara,” ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring ICW Illian Deta Arta Sari, Rabu (5/8) di Jakarta.
Dari pengamatan ICW, lima pengadilan yang paling banyak membebaskan terdakwa korupsi adalah PN Makasar dengan 38 terdakwa, MA (13 terdakwa), PN Gresik (9 terdakwa), PN Manado (8 terdakwa), dan PN Solo (8 terdakwa).
Kondisi di pengadilan umum berbanding terbalik dengan Pengadilan Tipikor Jakarta. Pada semester I-2009, dari 29 perkara dengan 32 terdakwa yang diperiksa dan diputus, tidak ada satu pun yang divonis bebas.
”Semua terdakwa divonis bersalah. Pengadilan Tipikor juga tak pernah menjatuhkan vonis percobaan atau di bawah satu tahun penjara. Rata-rata divonis di atas empat tahun,” kata Febri Diansyah, peneliti ICW.
Pantauan ICW yang menemukan bahwa hakim karier banyak membebaskan terdakwa korupsi tidak membuat kaget ahli hukum dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Muhammad Jamin. ”Karena kinerja peradilan umum tidak maksimal dalam menangani kasus korupsi, Pengadilan Tipikor dibentuk,” katanya.
Namun, diakuinya, banyak faktor yang membuat terdakwa korupsi dibebaskan di pengadilan umum.
Rabu, 15 Juli 2009
Penyadapan dalam Hukum Pidana
Berita tentang serangan balik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (Kompas, 23/6/2009) gencar dilakukan.
Namun, penyadapan telepon oleh pimpinan KPK itu diduga terkait kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Dalam Criminology, second edition 1995, Piers Beirne dan James Messerschmidt mengemukakan, kasus penyadapan pernah menyita perhatian publik Amerika Serikat pada dekade 1970-an. Saat itu, Presiden Richard Nixon menyadap pembicaraan lawan politiknya di Hotel Watergate menjelang pemilihan presiden. Nixon lalu mengundurkan diri sebelum di-impeach karena penyadapan dianggap perbuatan tercela dan melanggar HAM.
Di Indonesia, kasus penyadapan pernah heboh pada era pemerintahan Habibie. Majalah Panji Masyarakat memuat rekaman pembicaraan yang suaranya mirip Jaksa Agung Andi M Ghalib dengan Presiden BJ Habibie terkait penanganan kasus korupsi Soeharto. Bagaimana sebenarnya hukum pidana mengatur masalah penyadapan?
Berdasarkan UU Telekomunikasi, penyadapan adalah perbuatan pidana. Secara eksplisit ketentuan Pasal 40 undang-undang a quo menyatakan, Setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun. Pasal 56 menegaskan, Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Sebagai perbuatan pidana, penyadapan dapat dipahami mengingat ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan tiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapat informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada (Pasal 28F UUD 1945). Demikian pula Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, tiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang ada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Karena itu, dalam mengungkap suatu tindak pidana, pada dasarnya tidak dibenarkan melakukan penyadapan. Hal ini terkait bewijsvoering dalam hukum pembuktian. Secara harfiah bewijsvoering berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan.
Bagi negara-negara yang cenderung menggunakan due process of law dalam sistem peradilan pidana, perihal bewijsvoering cukup mendapatkan perhatian. Dalam due process of law, negara menjunjung tinggi hak asasi manusia (hak-hak tersangka) sehingga acap kali seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan praperadilan karena alat bukti diperoleh dengan cara tidak sah atau disebut unlawful legal evidence. Bewijsvoering semata-mata menitikberatkan pada hal-hal formalistis. Konsekuensi selanjutnya, sering mengesampingkan kebenaran dan fakta yang ada.
Dalam perkembangannya, terhadap bijzondere delicten (delik-delik khusus) yang diatur di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana, penyadapan boleh dilakukan dalam rangka mengungkap kejahatan. Pertimbangannya, aneka kejahatan itu biasanya dilakukan terorganisasi dan sulit pembuktiannya.
Dari sudut konstitusi, penyadapan guna mengungkap suatu kejahatan, sebagai suatu pengecualian, dapat dibenarkan. Hal ini karena kebebasan untuk berkomunikasi dan mendapat informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 bukan pasal-pasal yang tak dapat disimpangi dalam keadaan apa pun. Artinya, penyadapan boleh dilakukan dalam rangka mengungkap kejahatan atas dasar ketentuan undang-undang yang khusus sifatnya (lex specialis derogat legi generali).
Dewasa ini, dalam sejumlah undang-undang di Indonesia, penyidik diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan, termasuk penyidikan dengan cara under cover. Paling tidak ada empat undang-undang yang memberi kewenangan khusus itu, yaitu Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang KPK. Bila dicermati, ketentuan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan ada perbedaan prinsip antara satu dengan undang-undang lainnya.
UU Psikotropika dan UU Narkotika membolehkan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan harus dengan izin Kepala Polri dan hanya dalam jangka waktu 30 hari. Artinya, ada pengawasan vertikal terhadap penyidik dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan.
Berbeda dengan kedua undang-undang itu, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua pengadilan negeri dan dibatasi dalam jangka waktu satu tahun. Di sini ada pengawasan horizontal terhadap penyidik dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan.
Bandingkan dengan UU KPK yang boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa pengawasan dari siapa pun dan tanpa dibatasi jangka waktu. Hal ini bersifat dilematis karena kewenangan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan oleh KPK bersifat absolut dan cenderung melanggar hak asasi manusia. Hal ini, di satu sisi dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu di KPK, sedangkan di sisi lain, instrumen yang bersifat khusus ini diperlukan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi yang sudah amat akut di Indonesia. Ke depan, prosedur untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan oleh KPK harus diatur secara tegas paling tidak untuk dua hal.
Pertama, penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan tidak memerlukan izin dari siapa pun, tetapi harus memberi tahu ketua pengadilan negeri setempat dengan catatan pemberitahuan itu bersifat rahasia.
Kedua, harus ada jangka waktu berapa lama KPK boleh menyadap telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkapkan kasus korupsi.
Rabu, 06 Mei 2009
Bangsa Pembajak Hak Cipta
Berita itu merupakan tamparan mengingat berbagai ide, konsep, inisiatif, hingga pembuatan undang-undang telah dilakukan. Pada tahun 2006 United State Trade Representatives memasukkan Indonesia ke daftar abu- abu, yaitu Watch List, sebagai apresiasi kesungguhan Indonesia memberantas pembajakan. Bahkan, tahun 2009 dicanangkan sebagai Tahun Indonesia Kreatif dengan semangat Aku 100 Persen Cinta Produk Indonesia. Pasti ada kesalahan mendasar yang kita lakukan. Apa itu?
Berita yang memalukan ini bak berita biasa dan nyaris tidak mendapat perhatian, mengingat seluruh masyarakat sedang demam, terpana, bahkan terhipnotis, hiruk-pikuk dagang sapi dan hawa panas konstelasi Pemilu Presiden 2009. Ditambah berita heboh seputar skandal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Belum lagi geliat alam yang senantiasa melakukan penyeimbangan atas kecerobohan dan kerakusan manusia melakukan eksploitasi berlebihan pada kekayaan alam. Bencana alam dan bencana akibat ulah manusia silih berganti mengancam dan menerpa kita. Longsor, banjir, kebakaran bangunan dan lahan, sampai kecelakaan transportasi berkoalisi menjadi ancaman keseharian kita. Sumber penyakit pun seperti tak mau kalah. Demam berdarah, flu burung, dan kini flu babi bak berkoalisi menjadi ancaman massal ketenteraman kita.
Hak cipta atau sering disebut hak atas kekayaan intelektual (HaKI) adalah produk hukum yang memberikan perlindungan atas karya inovatif dari sang pencipta. HaKI dapat diajukan dalam berbagai wujud, seperti merek dan logo dagang, resep, formula, komposisi, lirik, sampai artefak teknologi.
Upaya Indonesia melindungi HaKI atas karya komposer Gesang dengan lagu ”Bengawan Solo” adalah contoh nyata perjuangan menegakkan HaKI yang hasilnya bukan hanya memberikan manfaat positif pada sosioekonomi sang komposer, tetapi juga pada peningkatan citra bangsa.
Mari kita fokus pada HaKI yang terkait perlindungan dan penegakan hukum pada karya inovatif bidang peranti lunak dan aplikasi komputer yang lebih populer dengan istilah software.
Kesadaran akan peluang sekaligus ancaman globalisasi sudah kita pahami betul. Ide, konsep, strategi, sampai realisasi fortifikasi (”Fortifikasi dalam Globalisasi”, Kompas, 4/3) yang menjadi kiat mitigasi dari tsunami globalisasi juga sudah kita gulirkan.
Fortifikasi atas gempuran software impor telah membangunkan ABG (academicians, businessmen, government) untuk kemudian menggelorakan semangat Indonesia Go Open Source! (IGOS) pada awal 2004, yaitu semangat membangun peranti lunak yang memenuhi kebutuhan mendasar bagi pengguna komputer tanpa kekhawatiran melanggar HaKI dan tanpa pemborosan uang untuk membayar lisensi yang harus dibayarkan kepada pemilik yang notabene menjadi dampak negatif atau ancaman globalisasi.
Jika copyrights adalah senjata pamungkas kapitalis, juga telah ada perlawanan berupa gerakan copyleft yang digagas para pejuang yang juga berasal dari negara kapitalis, yaitu Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat.
Semangat dan perjuangan IGOS ini serupa dengan copyleft movement. Ada juga gerakan dari Eropa yang melawan, yaitu perjuangan yang diinisiasi dan dimotori penuh determinasi oleh Linus Torvalds dari Finlandia, dengan membangun berbagai peranti lunak untuk mengoperasikan dan memanfaatkan komputer dengan semangat dari kita untuk kita.
Free Open Source Software
Kesadaran akan peluang sekaligus ancaman kapitalisme software juga telah menarik perhatian pimpinan negara-negara, bukan hanya yang masuk daftar negara berkembang. Presiden AS Barack Obama dalam gebrakan 100 harinya juga menjadikan Gedung Putih sebagai pilot pengembangan dan penggunaan FOSS. Hal serupa dilakukan Presiden India yang pada 4 Juni 2007 menginstruksikan penerapan FOSS dalam sistem pertahanan demi menciptakan sistem pertahanan nasional yang lebih aman.
Ini dilakukan sang presiden yang juga ilmuwan dan ahli nuklir, mengingat peperangan masa kini atau perang modern tidak lepas dari bertahan dari ancaman melalui pengintaian, penetrasi, dan perusakan melalui sistem komunikasi dan informasi.
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang terkenal dengan fokus To Make Brazil A Much Better Place, dengan lantang mengatakan tidak akan membolehkan Pemerintah Brasil boros dan membuang uang rakyat berupa melayangnya devisa hanya untuk membayar lisensi software. Dikatakan, dengan tegas kepada pemilik lisensi peranti lunak untuk hengkang dari Brasil jika tidak kooperatif dengan program pemerintah.
FOSS dijadikan inklusif dari dan untuk rakyat Brasil. Tetangga dekat kita yang relatif baru keluar dari kungkungan penjajahan, yaitu Vietnam, telah menggagas semangat dan kiat ”Vietnam 100 Persen Open Source by 2010”.
Kita kini sedang dengan harap cemas menanti deklarasi pasangan-pasangan yang akan berkompetisi dalam Pemilu Presiden 2009. Akankah semangat perjuangan Indonesia terhapus dari daftar hitam pembajak HaKI dijadikan indeks kinerja bagi pasangan-pasangan itu atau dicantumkan dalam kontrak politik dengan para pencontreng dalam Pilpres 2009?
Ataukah kita masih harus bersabar sampai datangnya kesempatan mendapat pemimpin yang mau dan mampu mengentaskan kita dari jebakan We do not learn that we do not learn seperti diuraikan Nassim Nicholas Taleb dalam buku The Black Swan-The Impact of Highly Improbable, 2007.
Kita berharap mendapatkan anugerah dipimpin negarawan yang terus berpikir menjadikan Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa yang memberikan kesejahteraan dan lepas dari jebakan politikus yang fokusnya lebih pada pemenangan pilpres.
Kita berharap mendapat yang terbaik dan senantiasa siap menerima yang terburuk.
Senin, 04 Mei 2009
Antasari-Nasrudin Saling Mengancam, Rebutan Caddy Cantik
Fakta-fakta itu diungkapkan Boyamin, anggota tim advokasi Nasrudin, di Solo kemarin pagi (1/5). Menurut dia, pembunuhan tersebut dilatarbelakangi kasus asmara yang melibatkan salah seorang petinggi di negara ini yang berinisial AA. Boyamin tidak mau membeberkan kepanjangan inisial AA itu. Tapi, kemarin sore kepolisian dan Kejagung sudah menyebut Ketua KPK Antasari Azhar sebagai tersangka.
SMS itu, lanjut Boyamin, dikirimkan dari nomor ponsel Antasari. ''Tolong persoalan di antara kita diselesaikan dengan baik-baik. Kalau perlu, saya minta maaf. Tolong jangan di-blow up ke media. Kalau di-blow up tanggung sendiri risikonya,'' bunyi SMS dari Antasari ke Nasrudin seperti dikutip Boyamin.
Sebelum terbunuh, kata direktur Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) itu, Nasrudin sempat membentuk tim pengacara untuk mengusut ancaman tersebut. Namun, sebelum kasus itu diusut, Nasrudin telah terbunuh.
''Saat fakta-fakta yang kami temukan itu dikolaborasikan, mereka berdua itu (Antasari dan Nasrudin, Red) telah berteman sejak lama. Bahkan, sejak AA belum menjadi pejabat negara," jelasnya. Mereka dilaporkan saling bertukar informasi tentang suatu kasus yang terjadi di RNI (PT Rajawali Nusantara Indonesia, induk perusahaan PT PRB).
Namun, karena teman kencan korban diganggu Antasari, mereka berdua akhirnya saling mengancam. Fakta dan beberapa bukti yang sudah ditemukan itu, imbuh Boyamin, telah diserahkan sepenuhnya kepada polisi oleh keluarganya melalui pengacara. Tentu, temuan itu dipergunakan sebagai bahan pengungkapan kasus tersebut.
Selain bukti SMS, pihak keluarga melalui pengacara juga telah menyampaikan fakta-fakta lain tentang kedekatan hubungan korban dengan Antasari. Keluarga juga telah menyerahkan foto-foto mengenai kedekatan antara Antasari dan pasangan korban. Ditanya soal keterlibatan Sigid Haryo Wibisono (dalam keterangan persnya, Boyamin menyebut Sigid sebagai SHW) dalam perkara tersebut, Boyamin menyebut dia teman dekat sekaligus tim sukses Antasari saat akan menjabat pejabat tinggi di negara ini.
Mungkin, saat itu Antasari berkeluh kesah kepada Sigid tentang permasalahannya. ''Mungkin, SHW kebablasan dalam merespons pesan dari AA. Bisa juga, AA secara langsung menyuruh SHW untuk bertindak lebih jauh,'' ungkapnya. Boyamin meminta polisi mendalami materi dari sejumlah fakta dan barang bukti yang telah diberikan itu.
Khususnya, untuk mengetahui seberapa jauh peran Antasari. Apakah sekadar berkeluh kesah, minta tolong, atau menyuruh Sigid secara langsung. ''Dari sembilan orang yang tertangkap, termasuk SHW, kami harapkan bisa diketahui motivasi pembunuhan, siapa yang membayar, dan mereka dibayar berapa,'' tandasnya.
Seperti diberitakan, penyelidikan polisi terhadap kasus pembunuhan yang menimpa Nasrudin pertengahan Maret lalu kian terang. Satu di antara sembilan orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka adalah Sigid Haryo Wibisono, 42. Dia adalah politikus, pengusaha, dan dikenal dekat dengan keluarga Gus Dur.
Sejak Rabu malam lalu (sekitar pukul 23.00), Sigid ditahan di Polda Metro Jaya bersama enam tersangka lain. Sementara itu, dua tersangka yang lain hingga tadi malam buron. Peristiwa yang dialami Nasrudin terjadi pada 14 Maret lalu. Dia ditembak dua pria tak dikenal ketika pulang dari bermain golf sekitar pukul 15.00 di kawasan Apartemen Modern Land, Kelurahan Kelapa Indah, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang.
Ketika itu, Nasrudin berada di mobil BMW miliknya bernopol B 191 E yang disopiri Sentoro. Dua peluru menembus kepala direktur BUMN bidang agrobisnis, perdagangan, alat kesehatan, dan farmasi itu. Nyawanya tak tertolong setelah sekitar 20 jam dirawat di rumah sakit.
Berdasar hasil penyelidikan sementara polisi, kasus penembakan Nasrudin itu disebut-sebut melibatkan pejabat negara. Sumber yang bisa dipercaya di Polda Metro Jaya mengatakan, selain Sigid, salah seorang di antara tujuh tersangka yang diamankan adalah mantan Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombespol Williardi Wizar. Nama salah satu pejabat tinggi di pemerintahan juga disebut-sebut terlibat di dalamnya.
Dua minggu sebelum insiden, kuasa hukum Nasrudin lainnya, Jeffry Lumempouw, mengaku sempat bermain golf dengan Nasrudin di Padang Golf Pondok Indah. Mereka juga sempat salat Asar bersama. Saat itu, Jeffry melihat wajah Nasrudin tampak sangat cemas. "Beliau khusyuk sekali menjalankan salat, tidak seperti biasanya," kata Jeffry setelah salat Jumat di Wisma Agung, Lt 4, di Jl Taman Kemang, Kav 21, Jaksel, kemarin.
Menurut Jeffry, Nasrudin memberanikan diri curhat mengenai masalahnya selama ini. Sebab, tiga minggu sebelum kejadian, Nasrudin mendapatkan SMS ancaman. Nasrudin kala itu khawatir terhadap keselamatan keluarganya. Sebab, jika sampai masalah perselingkuhan Antasari terkuak, nyawa Nasrudin terancam.
Gara-gara kepikiran SMS itu, Jeffry mengaku Nasrudin tidak bisa berkonsentrasi saat bermain golf. "Saya tidak bisa bermain bagus karena saya terancam dan ancaman itu semakin gencar," kata Jeffry menirukan ucapan Nasrudin semasa hidup.
Karena yang mengancam adalah seorang pejabat, Nasrudin bercerita sangat hati-hati. Dia tidak ingin pembicaraannya diketahui orang lain. Karena itulah, Nasrudin memakai lima telepon genggam. Saat insiden penembakan pada 14 Maret 2009 di Kota Modern Land, Tangerang, Jeffry sedang bermain golf di Ancol. Dia mengaku gemetar saat mendengar kabar Nasrudin tewas ditembak setelah bermain golf.
Selain Antasari, Jeffry mengungkapkan bahwa bos Harian Merdeka juga terlibat dalam pembiayaan kasus pembunuhan itu. Karena dikenal teman Nasrudin, Jeffry diminta adik korban, Andi Syamsudin Iskandar, menangani kasus tersebut via surat kuasa No.021/ASI/PDN/JI/III/09.
Sebelum insiden itu, awalnya, Antasari berkenalan dengan caddy cantik di padang golf Modern Land. Namanya Tika (sebutan polisi). Perkenalan itu berlanjut dengan hubungan asmara. Pada saat itu, Tika juga sedang menjalin hubungan serius dengan korban hingga berujung dengan nikah siri.
Kabar itu diungkapkan sumber di Polda Metro Jaya. Meski sudah menikah siri dengan Nasrudin, Tika nekat menjalin hubungan asmara dengan Antasari. Hal itu pun, rupanya, diketahui korban. Tapi, korban bukannya melarang, tapi, kabarnya, justru hendak menjebak Antasari di saat keduanya sedang bercumbu. "Saat Antasari bertemu Tika di sebuah hotel, mereka berdua dipergoki Nas," ujar sumber itu.
Melihat umpannya 'termakan', Nasrudin mengancam Antasari akan menyebarkan aib tersebut jika beberapa permintaannya tidak dipenuhi. "Motifnya pemerasan. Beberapa permintaan dipenuhi, seperti jangan pernah lagi menjalin dengan istri sirinya itu, tapi beberapa lagi belum," ujar sumber itu lagi.
Akhirnya Antasari hilang kesabaran dan bercerita kepada seorang Pamen Polri, mantan Kapolres Jaksel dan Tangerang Kombespol Williardi Wizar (WW). "WW sudah ditahan di propam Mabes Polri dan masih diperiksa. Saat itu, WW mengatakan ke Antasari, jika masalah itu benar-benar diungkap, maka dapat membahayakan negara. Saat itulah muncul rencana melenyapkan korban," ujarnya. (in/tej/ibl/ind/jpnn/iro)
Pembunuhan Direktur PRB 4 dari 9 Tersangka Adalah Satpam
Didit Tri Kertapati, E Mei Amelia R - detikNews

"Tersangka yang sudah ditangkap berjumlah 9 orang," kata Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono dalam jumpa pers di Main Hall Gedung Utama Polda Metro Jaya, Senin (4/5/2009). Namun, Kapolda menyebutkan kesembilan tersangka dengan inisial saja.
Data yang diterima detikcom, para pelaku itu itu terdiri dari 1 pejabat tinggi negara, 1 pengusaha, 1 perwira menengah polisi, 1 pengangguran, 2 pekerja swasta, dan 3 orang satpam. Mereka adalah Antasari Azhar (ketua KPK), Sigid Haryo Wibisono (Komisaris Utama PT PIM), Kombes Pol Wiliardi Wizar (polri/mantan Kapolres Jaksel), Heri Santosa (pengemudi Scorpio), Eduardus Ndopo alias Edo (penerima order pembunuhan dari Wiliardi Wizar), Jerry Hermawan LO (penghubung Edo kepada Wiliardi), Daniel Daen (penembak/eksekutor), Fransiskus Tadon Keran alias AMSI (pengendali lapangan), dan Hendrikus Kia Walen alias Hendrik (pemberi order kepada Fransiskus).
Berikut data lengkap pelaku yang didapatkan detikcom:
1. Daniel Daen
Tempat tanggal lahir: Flores, 2 Juli 1973
Agama: Katholik
Pendidikan: SD
Pekerjaan: Satpam Toko Buah Festifal Gandaria
Alamat: Pal Batu, Menteng Dalam Jakarta Selatan dan Desa Narasaonsina Kecamatan Larantuka Kabupaten Waiwerang NTT
Peran: Penembak/eksekutor
2. Heri Santosa alias Bagol bin Rasja
Tempat tanggal lahir: Bogor, 1 Januari 1975
Agama: Islam
Pendidikan: STM Penerbangan
Pekerjaan: Pengangguran
Alamat: Jalan Menteng Atas Selatan Kelurahan Menteng Atas Kecamatan Setiabudi Jakarta Selatan dan Perum Griya Alam Sentosa Cileungsi Kabupaten Bogor
Peran: Pengendara sepeda motor/pilot saat penembakan
3. Fransiskus Tadon Keran alias AMSI
Tempat tanggal lahir: Flores, 23 November 1971
Agama: Katholik
Pendidikan: SMP
Pekerjaan: Security PT Yasun Litex
Alamat: Kompleks ABB Jalan Bungur Besar Raya Senen Jakarta Pusat dan Jalan Sanat Dalam Tangki, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Pusat
Peran: Pengendali lapangan saat Survei dan penembakan serta pembeli senjata api
4. Hendrikus Kia Walen alias Hendrik
Tempat tanggal lahir: Flores, 27 Oktober 1972
Agama: Katholik
Pendidikan: S1 Ekonomi
Pekerjaan: security toko
Alamat: Jalan Menteng Atas Kelurahan Menteng Kecamatan Setiabudi Jakarta Selatan dan Perum Koperasi BUGN Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Depok
Peran: Pemberi order kepada Fransiskus
5. Eduardus Ndopo Mbete alias EDO
Tempat tanggal lahir: Flores, 29 November 1971
Agama: Kristen
Pekerjaan: Swasta
Pendidikan: S1
Alamat: Jl Kramat Pulo Gundul Tanah Tinggi Johar Baru Jakarta Pusat dan Jl Raya Jatiluhur Kecataman Jati Asih Bekasi.
Peran: Penerima order pembunuhan dari Wiliardi Wizar
6. Jerry Hermawan LO
Tempat: Medan, 22 November 1957
Agama: Buddha
Pekerjaan: Swasta
Pendidikan: SMA
Alamat: Perumahan Permata Buana no 13 Jakarta Pusat
Peran: Penghubung Edo kepada Wiliardi
7. Sigid Haryo Wibisono
Tempat tanggal lahir: Semarang, 12 November 1966
Agama: Islam
Pekerjaan: Komisaris Utama PT Pers Indonesia Merdeka (PIM)
Pendidikan: S1 Ekonomi
Alamat: Jl Patiunus no 35 Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan Jl Kerinci VIII RT 010/02 no 65 Kebayoran Baru Jakarta Selatan
Peran: Penyandang/pemberi dana kepada Williardi)
8. Williardi Wizar
Tempat tanggal lahir: Sibolga, 22 Maret 1960
Agama: Islam
Pendidikan: S1
Pekerjaan: Polri (berpangkat Kombes Pol, mantan Kapolres Jakarta Selatan)
Alamat: Perumahan Taman Ubud Permai Karawaci Tangerang
Peran: Penghubung dan pemberi perintah kepada EDO
9. Antasari Azhar
Tempar tanggal lahir: Pangkal Pinang, 18 Maret 1953
Agama: Islam
Pekerjaan: Ketua KPK
Pendidikan: S2 hukum
Alamat: Perumahan Giri Loka II Jalan Gunung Merbabu Blok A/13 Bumi Serpong Damai (BSD Tangerang.
Peran: Otak pembunuhan/intellectual dader (asy/nrl)
Tersangka Pembunuh Nasrudin
Heri Santoso Koordinator Keamanan Lingkungan
Ramadhian Fadillah - detikNews

foto: Heri Santoso
"Heri itu saya tunjuk sebagai koordinator keamanan. Dia orangnya baik," kata Tomi Harjono, Ketua RT 10/4, Kelurahan Menteng Atas, Jakarta Selatan, pada detikcom di kediamannya, Senin (4/5/2009).
Heri tergolong warga lama di wilayah tersebut. Selama itu Heri yang tinggal bersama ibundanya dikenal sebagai warga yang aktif dan ramah terhadap para tetangga.
Penunjukannya sebagai koordintor keamanan lingkungan tidak terlepas dari pada keterampilannya di bidang keamanan hingga pernah memimpin kepala regu keamanan di Apartemen Rasuna, Jakarta. Maka berita bahwa Heri terlibat pembunuhan, sangat mengagetkan.
"Saya kaget waktu itu polisi bilang ke saya bahwa Heri terlibat," sambung Tomi.
(lh/nrl)
Kronologi Lengkap Pengungkapan Kasus Pembunuhan Nasrudin
Didit Tri Kertapati, E Mei Amelia R - detikNews

Setelah itu, polisi kemudian menangkap Heri Santosa, pengemudi Yamaha Scorpio itu di kawasan Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan. Dari pengakuan Heri, kemudian nama para tersangka lainnya terungkap. Kombes Pol Wiliardi Wizar dan Komisaris PT Pers Indonesia Merdeka (PIM) Sigid Haryo Wibisnono kemudian juga ditangkap.
Dalam jumpa pers di Mapolda Metro Jaya, Senin (4/5/2009), Kapolda menjelaskan kronologi pengungkapan kasus pembunuhan Nasrudin ini. Namun, Kapolda menjelaskan kronologi ini dengan menyebut para tersangka dengan inisial-inisial.
Kapolda juga tidak menyebutkan motif pembunuhan terhadap Nasrudin. Kapolda juga belum menyebut peran Antasari Azhar secara jelas dalam kasus ini.
Penjelasan Kapolda tentang ini sama dengan data kronologi pengungkapan kasus Nasrudin yang diterima detikcom. Bahkan, data tersebut sudah mengungkap motif pembunuhan dan peran Antasari. Berikut kronologi lengkap yang didapatkan detikcom:
1. Dari hasil olah TKP yang dilakukan Tim Labfor Mabes Polri dan hasil analisa dari keterangan saksi yang ada di TKP diperoleh informasi bahwa pelaku menggunakan sepeda motor Yamaha Scorpio warna biru dan dibuatkan sketsa wajah pelaku dari keterangan saksi Sarwin yang berada di dekat TKP. Sarwin merupakan saksi yang saat kejadian penembakan, berada hanya 5 meter dari mobil Nasrudin.
2. Selanjutnya dilakukan penyelidikan dan diperoleh informasi adanya seseorang yang memiliki kendaraan roda dua dengan ciri-ciri seperti yang di TKP dengan pemilik bernama Heri Santosa, beralamat di Menteng Atas Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Setelah dilakukan pengecekan ke alamat tersebut, ditemukan sebuah sepeda motor Yamaha Scorpio warna biru no pol B 6862 SNY dan selanjutnya dilakukan penangkapan terhadap tersangka Heri Santosa. Heri Santosa mengaku sebagai pengemudi sepeda motor (pilot) dalam penembakan terhadap korban Nasrudin.
3. Heri Santosa mengaku saat kejadian dia mengendarai kendaraan tersebut bersama-sama dengan Daniel yang melakukan penembakan sebanyak dua kali terhadap korban dari arah sisi kiri kendaraan BMW B 191 E warna silver di Jalan Hartono Raya Kompleks Modern Land, sekitar 900 meter dari lapangan Golf Modern Land Tangerang pada Sabtu, 14 Maret 2009 sekitar pukul 14.00 WIB, sesaat setelah korban selesai bermain golf. Dalam pemeriksaan, diperoleh keterangan bahwa Heri Santosa dan Daniel mendapatkan pesanan untuk melakukan pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dari Hendrikus Kia Walen.
4. Selanjutnya dilakukan penangkapan terhadap Hendrikus Kia Walen di Menteng Dalam Atas Jakarta Pusat. Rumah Hendrikus hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah Heri Santosa. Pengakuan Hendrikus, di lokasi penembakan saat itu adalah Heri Santosa (sebagai pilot), Daniel (sebagai eksekutor) dengan menggunakan sepeda motor Yamaha Scorpio warna biru, sementara Fransiskus Alias Ansidan sdr SEI (sebagai pengawas) dengan menggunakan kendaraan Avanza B 8870 NP. Hendrikus Kia Walen sebagai penerima dan pemberi order. Dari keterangan Hendrikus diketahui bahwa Hedrikus menerima uang sebesar Rp 400 juta dari Edo, dengan perincian: dibagikan ke masing-masing Heri Santoso Rp 70 juta, Daniel Rp 70 juta, Amsi Rp 30 juta, Sei Rp 20 juta, dan sisanya untuk Hendrikus serta biaya operasional sebesar Rp 100 juta.
5. Dari hasil pemeriksaan terhadap Hendrikus diketahui bahwa senjata api yang digunakan jenis Revolver kaliber 38 berikut peluru 6 butir yang masih ada di dalam silinder, dua sudah ditembakkan dan empat masih belum ditembakkan yang ditanam di halaman rumah di Tebet Jakarta Selatan. Selanjutnya senjata api itu disita dan dilakukan uji balistik Labfor Mabes Polri. Hasilnya, peluru itu identik dengan anak peluru yang ditemukan di tubuh Nasrudin.
6. Dari pengakuan Hendrikus, diperoleh keterangan tentang keberadaan Fransiskus. Polisi akhirnya menangkap Fransiskus alias Amsi di Batu Ceper Kali Deres Jakarta Barat. Saat diperiksa, Amsi mendapat uang Rp 30 juta, kemudian Hendrikus memberi dana operasional kepada Fransiskus sebesar Rp 15 juta untuk membeli senjata api dan sebesar Rp 5 juta untuk menyewa kendaraan Avanza.
7. Dari hasil peneriksaan Heri Santosa, dilakukan penangkapan terhadap Daniel (penembak/eksekutor) di Pelabuhan Tanjung Priok sewaktu pulang dari Flores dengan menggunakan kapal laut Silimau. Saat diperiksa, Daniel mengaku mendapatkan pesanan penembakan terhadap Nasrudin dengan mendapat imbalan uang Rp 70 juta.
8. Kepada polisi, Hendrikus mendapat pesanan penembakan terhadap Nasrudin dari Eduardus Ndopo Mbete alias Edo. Kemudian polisi menangkap Edo di rumahnya di Jalan Jati Asih Bekasi. Edo mengakui dan membenarkan pengakuan Hendrikus. Kemudian dilakukan pendalaman terhadap Edo untuk mengetahui motif dan siapa yang menyuruh Edo untuk melakukan penembakan terhadap Nasrudin.
9. Saat diperiksa, Edo mengaku mendapat perintah untuk membunuh korban dari Wiliardi Wizar (Kombes Polisi). Edo bisa bertemu Wiliardi atas prakarsa Jerry. Sebelumnya Wiliardi meminta Jerry untuk mencari orang yang dapat melakukan pembunuhan terhadap Nasrudin. Untuk itu, Jerry kemudian mengatur pertemuan Wiliardi dengan Edo di Halai Bowling Ancol. Selanjutnya dilakukan penangkapan terhadap Jerry di Perumahan Permata Buana Jakarta Barat.
10. Jerry mengaku bahwa Wiliardi bertemu dirinya di Halai Bowling Ancol untuk mencari orang yang dapat melakukan pembunuhan terhadap Nasrudin. Saat itu, dia mempertemukan Wiliardi dengan Edo. Saat itu, Edo dijanjikan imbalan Rp 500 juta. Pada pertemuan itu, diserahkan foto korban dan foto mobil yang biasa digunakan korban kepada Edo.
11. Kepada polisi, Edo mengaku menerima uang sebesar Rp 500 juta dari Wiliardi di lapangan parkir Citos (Cilandak Town Square) Jakarta Selatan. Berdasarkan keterangan Edo dan Jerry, selanjutnya dilakukan penangkapan terhadap Wiliardi Wizar di Taman Ubud Lippo Karawaci Tangerang.
12. Dari pemeriksaan Wiliardi, diperoleh keterangan bahwa uang yang diserahkan kepada Edo berasal dari Sigid Haryo Wibisono dan atas sepengetahuan Antasari. Sebab, saat Sigid memberikan Rp 500 juta kepada Wiliardi, Sigid menelepon Antasari untuk mengkonfirmasi penyerahan uang tersebut sebagai biaya operasional di lapangan. Maka pada hari Selasa 28 April 2009, polisi menangkap Sigid di Jalan Pati Unus 35 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
13. Dari hasil pemeriksaan Wiliardi dan Sigid diperoleh keterangan bahwa yang mempunyai keinginan untuk menghilangkan nyawa Nasrudin adalah Antasari Azhar. Sebab, Nasrudin sering meneror dan memeras Antasari dengan ancaman akan membongkar perselingkuhan Antasari dengan istri siri Nasrudin bernama Rani yang terjadi Hotel Grand Mahakam Kebayoran Baru Jaksel sekitar bulan Mei 2008. Karena ancaman tersebut dirasakan sudah sangat mengganggu baik diri pribadi maupun istri dari Antasari, maka Sigid menghubungi Wiliardi untuk meminta bantuan pembunuhan terhadap Nasrudin. (asy/nrl)
Senin, 23 Maret 2009
"Quatie Inquiry": Herman SS Vs Mabes Polri?
O l e h Indriyanto Seno Adji
Di tengah mulainya pesta demokrasi pemilu caleg, pernyataan mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Irjen Pol Herman Surjadi Sumawiredja sungguh bagai petir di siang terang bolong. Betapa tidak, Herman SS yang mengundurkan diri dari pimpinan Polri ini merasa kecewa atas intervensi Mabes Polri terhadap penyidikan perkara dugaan pemalsuan daftar pemilih tetap di Bangkalan dan Sampang dalam Pilkada Jawa Timur.
Soal pidana untuk pemalsuan daftar pemilih tetap (DPT) ini diatur dalam Pasal 115 Ayat 1 dan 3 UU Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 Tahun 2008. Sebaliknya, KPU meragukan dugaan pemalsuan DPT yang dilaporkan pasangan Kaji melalui Panwaslu karena tidak terdapat tanda tangan dan cap pimpinan KPU sebagai bukti identifikasi legalitas dan validitasnya.
Seolah netralitas Polri dalam pemilu sebagai kebijakan negara menjadi polemik untuk dipertanyakan, yaitu melakukan degradasi prosesual yustisia dengan cara menurunkan tingkat penyidikan menjadi penyelidikan, khususnya laporan dugaan tindak pidana dimaksud. Apa benar degradasi prosesual yustisia up-down dari penyidikan menjadi penyelidikan sebagai bentuk intervensi politik Polri?
Dari pendekatan sistem prosesual yustisia, sebenarnya permasalahan di atas adalah hukum acara pidana (formil) terhadap kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam kaitan dengan Pasal 115 Ayat 1 dan 3 UU Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 Tahun 2008 UU yang bersifat khusus di atas, yaitu laporan Ketua Panwaslu Jatim kepada
Dalam ”penyelidikan”, penegak hukum (penyelidik) membatasi dengan cara mencari dan menemukan adanya peristiwa yang diduga tindak pidana guna menentukan dapat/tidaknya dilakukan tindakan lanjutan penyidikan. Tahap penyelidikan, segala kewenangan ini terbatas mencari dan menemukan suatu peristiwa, bukan menentukan adanya cukup-tidaknya alat bukti yang menjadi ranah penyidikan. Karena itu, pengiriman segala data yang ada pada tahap penyelidikan kepada tahap penyidikan haruslah diartikan ”belum” menjadi ranah dan wewenang tahap ”penyidikan”, tetapi tahap ”penyelidikan semu”.
Hal ini yang menurut Prof Alan M Dershowitz, PhD (guru besar Harvard Law School) dinamakan limited inquiry atau quatie inquiry atau oneigenlijke onderzoek.
Dengan demikian, segala kekurangan data yang ada untuk menemukan suatu peristiwa (yang diduga) sebagai tindak pidana adalah imperatif, conditio sine qua non (syarat mutlak), untuk dikembalikan kepada tahap pre-investigation yang dinamakan sebagai tahap inquiry.
Dalam tahap yang dinamakan quatie inquiry atau dalam civil law system dikenal sebagai voor bereidigings handeling (persiapan pelaksanaan) menjadi kewajiban penyelidik untuk meminta data/bahan alat bukti tambahan, bukan penyidik.
Sementara ”penyidikan”, penegak hukum (penyidik) mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang adanya tindak pidana dan menemukan tersangka. Tahap investigation, penegak hukum (penyidik) memiliki keterbatasan untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana, artinya segala data yang diserahkan dari penyelidik kepada penyidik haruslah diartikan ”belum” memasuki tahap penyidikan selama penyidik belum menyatakan cukup bukti untuk menentukan terangnya suatu tindak pidana.
Dalam hal penyidik menyatakan bahwa data-data/alat bukti belum cukup, perlu diperhatikan bahwa (a) adalah imperatif untuk dikembalikan kepada tahap pre-investigation yang dinamakan sebagai tahap quatie inquiry, juga (b) selain itu tidak dapat dibenarkan penyidik melakukan ”penyelidikan tambahan” karena kewenangan mengumpulkan data untuk menemukan peristiwa (yang diduga tindak pidana) adalah penyelidik, bukan penyidik. Lalu (c) selama data-data/alat bukti masih dinyatakan belum cukup meskipun data berada pada penyidik, proses pra-ajudikasi ini masih dalam tahap penyelidikan, bukan penyidikan, kecuali data/bahan sebagai alat bukti sudah dinyatakan lengkap/cukup.
Dalam hal data/bahan sebagai alat bukti dinyatakan lengkap/cukup, tahap begin van uitvoering (permulaan pelaksanaan) menjadi kewajiban penyidik membuat terang adanya suatu tindak pidana. Mengingat UU Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 Tahun 2008 sebagai lex specialis dibandingkan KUHAP, khususnya kewenangan Panwaslu dalam proses pengumpulan alat bukti (gathering evidence), berdasarkan asas Lex Post Terior Derogat Legi Priori, tidak menjadi kewajiban penyidik untuk melengkapi kekurangan data/bahan sebagai alat bukti, tetapi kewajiban Panwaslu sebagai pelapor. Apalagi ada bantahan KPU tentang legalitas dan validitas DPT tanpa tanda tangan/cap institusinya sehingga tidak menjadi kewenangan pula penyidik untuk melakukan ”penyelidikan tambahan” (melengkapi alat bukti), bukan ”penyidikan tambahan” yang tidak menjadi wewenangnya, tetapi kewenangan dan kewajiban Panwaslu Provinsi Jatim sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 Tahun 2008 sesuai asas lex specialis.
Dalam kasus ini, dikembalikan data/bahan yang dianggap kurang sebagai alat bukti oleh penyidik pada proses quatie inquiry berupa persiapan pelaksanaan (voor bereidigings handeling) masih dalam status penyelidikan yang tidak dapat diartikan penurunan degradasi penyidikan kepada penyelidikan sebagai bentuk intervensi politik.
Dalam proses quatie inquiry, kelengkapan pengumpulan alat bukti berupa persiapan pelaksanaan tidak dibenarkan adanya ”penyelidikan tambahan” (bukan penyidikan tambahan) oleh penyidik Polri yang tidak menjadi wewenangnya, tetapi imperatif kewajiban Panwaslu.